Kajian Kitab Bidayah Al-Hikmah
Marhalah 11
Ilmu, Alim (subjek yang mengetahui), dan ma’lum (objek yang mengetahui)
Pertemuan I (Maret ’15)
Dosen: ust. Ikhlas Budiman
Transkrip by Heaven
Pasal I
Pembahasan ilmu dan pembagian pertamanya
Penjelasan: Karena nanti tasawwur dan tasdiq adalah pembagian hushuli. Pembagian pertama ini berdasarkan pada “ada atau tidaknya perantara”. Makanya ilmu dibagi antara huduri dan hushuli. Setelah kita dapatkan ilmu hudhuri dan hushuli baru nanti dibagi menjadi dua.
Teks: Kita dapatkan ilmu, itu sudah merupakan hal yang niscaya/aksiomatis (dhoruri). Begitu juga konsep daripada ilmu itu sendiri, bagi kami itu juga hal yang jelas. Adapun yang kami inginkan pada pasal ini, bagaimana kita mengetahui (ma’rifah) yang lebih jelas daripada karakteristiknya, sifat-sifat mahsusnya. Supaya kita bisa membedakannya (dengan marifah tadi) mana ekstensi (misdaq) ilmu itu sendiri dan mana karakteristiknya.
Teks: Sekarang dibuatkan premis dari wujud zihni. Kita memiliki ilmu terhadap realitas eksternal atau terhadap hal-hal yang berada di luar pikiran kita secara umum. Maksudnya, kita dapatkan dia hadir pada diri kita dengan mahiyahnya, bukan dengan wujudnya. Bukan dengan wujud khorijiyahnya (wujud luar/eksternal) yang datang kepada kita, dimana wujud khoriji yang punya efek. Ilmu yang semacam ini disebut juga dengan ilmu, tapi ilmu hushuli, karena yang hadir adalah mahiyahnya, bukan wujudnya.
Teks: Bagian dari ilmu juga, yaitu ilmu salah seorang dari kita terhadap dirinya sendiri, esensinya sendiri (bizzat). Di mana zatnya adalah sesuatu yang diisyaratkan dengan kata saya (ana). Itulah yang disebut dengan zatnya. Karena orang tadi yang mengetahui dirinya sendiri tidak pernah lengah dari dirinya sendiri dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam kadaaan ramai, baik dalam keadaan tidur maupun dalam keadaan sadar, atau dalam keadaan apapun juga.
Penjelasan: karena kalau saya (ana) masuk dalam mahiyahnya, itu hushuli. Tapi kalau saya-nya sendirnya, tidak pernah lepas, itu huduri.
-Diri saya tidak pernah lepas.
ia hadir dalam wujud saya. Saya tahu bahwa saya adaà hudhuri
– Kata “saya”, kalimat, “kesaya-an”, gambaran “saya”, dan foto “saya”à hushuli.
-kita mendapatkan ilmu dari khoriji (luar/eksternal) dengan mahiyahnya, bukan dengan wujudnyaà hushulià hudhuru shuratu al-syai’ (hadirnya gambaran sesuatu), berarti yang hadir adalah gambarnya/mahiyahnya.
-ilmu salah seorang dari kita terhadap dirinya/zatnya, berarti yang hadir adalah wujudnyaàhudhuriàhudhuru wujudu al-syai’ (hadirnya wujud sesuatu), berarti yang hadir adalah wujudnya.
Teks: Hadirnya diri saya langsung, bukan dengan mahiyah esensi saya atau ilmu hushuli (dalam ilmu hushuli yang hadir mahiyahnya). Karena konsep yang hadir di dalam pikiran, bagaimana diasumsikan, ia tetap punya banyak ekstensi (misdaq). Tetapi diri saya itu menjadi individuasi (tasayakhus) sebagai wujud khoriji (eksternal).
Penjelasan: Saya dan esensi saya berbeda. Esensi saya hadir terus, tapi ketika esensi masuk sebagai kuiditas itu ilmu hushuli, gambaran saya.
Jadi “saya” hadir dalam bentuk khoriji (kalau dalam hudhuri). Tidak ada mahiyahnya, karena saya khoriji. Maksudnya keberadaan saya wujud khoriji. Kalaupun wujud mujarrod, ia tetap wujud khoriji. Karena berdasarkan tasykik.
Tingkatan (Gradasi/Taskkik) ada dua, yakni yang punya efek dan tidak punya efek. Kalau sesuatu sudah dibagi, berarti ia mempunyai realitas.
Meskipun dikatakan bahwa wujud zihni tidak memiliki efek, namun di satu sisi ia memiliki efek. Misalnya pengetahuan. Dulu kita tidak punya pengetahuan terhadap sesuatu, sekarang kita punya pengetahuan. Berarti ia memiliki, efek yakni pengetahuan. Maka wujud zihni itu juga wujud khoriji, jangan mengatakaan wujud zihni bukan wujud khoriji.
Api Di luar (khorij) à efeknya membakar àapi materi
Di zihni à tidak membakar à memliki efek memberi pengatahuan, “api membakar”à api immateri
Jadi dari satu sisi, wujud zihni adalah wujud khoriji. Kalau konsep api, dulunya ia tidak punya pengetahuan, kini punya pengetahuan, bukan efek terbakarnya, tapi efek pengetahuan. Jadi, Kalau mahiyahnya api ditempatkan di wujud khoriji, ia terbakar. Tapi kalau mahiyahnya ditempatkan di wujud zihni, ia tidak terbakar.
Ketika mahiyah berada dan menyatu dalam wujud zihni berarti ia punya satu wujud, yakni wujud zihni.
Sekarang pertanyaan?
Mahiyah sebagai wujud zihni.
Wujud zihninya ini hadir pada dirinya. Kan ia immateri, ketika wujud api sebagai wujud zihni kemudian hadir dalam wujud zihni itu sendiri disebut dengan ilmu hudhuri.
Pada konsepnya, api itu tidak terbakar. Yang membuat terbakar kalau ia berada dalam wujud khoriji. Nah, sekarang ketika dalam wujud zihni tidak terbakar, berarti ada api dalam wujud zihni dan api dalam wujud khoriji. Api sebagai wujud zihni ia immateri, sementara api sebagai wujud khoriji ia materi.
Diskusi: Mahiyah itu immateri?
Mahiyah awalnya Ke-apa-an saja, belum ada apa-apa. Kalau mahiyah ini saya masukkan ke dalam wujud khoriji, baru ia menjadi materi (maddah). Pembahasannya sekarang adalah, ketika mahiyah (ia satu bukan jadi bnayak) berada dalam wujud zihni, di sinilah perdebatannya, memang nyambung dengan asholatul maujud.
Persoalannya di sini:
Ada kaidah filsafat:
Ma lam yatasaykkhos, lam yuujad
(Sesuatu yang belum terindividuasi, tidak akan terealiasasi)
Persoalanya, apakah yatasyakkhos ini? Karena tasyaskkhos ini pasti individu? Sekarang bagaiamana dengan mahiyah api? Kalau api ada dalam tasayakhus di realitas eksternal? Apabila tasayakkus dalam wujud eksternal, maka ia menjadi individu. Sekarang kalau ia mahiyahnya api tadi, yatasyakkhos dalam wujud zihni
Bagaimana kalau dia jadi konsep, mafhum?
Kalau dalam logika permasalahannya, mafhum dibagi dua, kulli dan juz’i. Persoalan ketika menjadi juzi berkaitan dengan individuasi. Makanya disebut mafhum di kulli.
Sekarang mahiyah ini dia muncul, bisa jadi dua; mahiyah yang sebagai juzi dan mahiyah sebagai kulli. Padahal kenyataanya mahiyah itu satu. Apakah dirinya yang berproses menjadi particular? Yang ada dalam pikirannya yang bisa jadi universal? Atau dalam realitasnya ada juzi dan ada kulli?
Karena ini kan konsep saja, tashawwurnya ilmu hushuli. Jadi tidak ada mahiyah pada alam realitas luar. Setelah mahiyah masuk ke dalam pikiran saya, pikiran saya punya posisi. Sehingga bisa saya bagi. Kalau masih di luar dan di khayalan, berarti ia particular. Kemudian kalau di alam akal sebagai ke-mahiyahan ia universal. Oleh karena itu, mahiyahnya tetap satu. Yang membuat juz’i dan kulli adalah pikiran saya. Yang membuat banyak adalah pikiran. Mahiyah pada dasarnya adalah konsep. Continue reading