Ilmu dan Penyatuannya (Ittihad)

Kajian Kitab Bidayah Al-Hikmah

Marhalah 11

Ilmu, Alim (subjek yang mengetahui), dan ma’lum (objek yang mengetahui)

Pertemuan I (Maret ’15)

Dosen: ust. Ikhlas Budiman

Transkrip by Heaven

Pasal I

Pembahasan ilmu dan pembagian pertamanya

Penjelasan: Karena nanti tasawwur dan tasdiq adalah pembagian hushuli. Pembagian pertama ini berdasarkan pada “ada atau tidaknya perantara”. Makanya ilmu dibagi antara huduri dan hushuli. Setelah kita dapatkan ilmu hudhuri dan hushuli baru nanti dibagi menjadi dua.

Teks: Kita dapatkan ilmu, itu sudah merupakan hal yang niscaya/aksiomatis (dhoruri). Begitu juga konsep daripada ilmu itu sendiri, bagi kami itu juga hal yang jelas. Adapun yang kami inginkan pada pasal ini, bagaimana kita mengetahui (ma’rifah) yang lebih jelas daripada karakteristiknya, sifat-sifat mahsusnya. Supaya kita bisa membedakannya (dengan marifah tadi) mana ekstensi (misdaq) ilmu itu sendiri dan mana karakteristiknya.

Teks: Sekarang dibuatkan premis dari wujud zihni. Kita memiliki ilmu terhadap realitas eksternal atau terhadap hal-hal yang berada di luar pikiran kita secara umum. Maksudnya, kita dapatkan dia hadir pada diri kita dengan mahiyahnya, bukan dengan wujudnya. Bukan dengan wujud khorijiyahnya (wujud luar/eksternal) yang datang kepada kita, dimana wujud khoriji yang punya efek. Ilmu yang semacam ini disebut juga dengan ilmu, tapi ilmu hushuli, karena yang hadir adalah mahiyahnya, bukan wujudnya.

Teks: Bagian dari ilmu juga, yaitu ilmu salah seorang dari kita terhadap dirinya sendiri, esensinya sendiri (bizzat). Di mana zatnya adalah sesuatu yang diisyaratkan dengan kata saya (ana). Itulah yang disebut dengan zatnya. Karena orang tadi yang mengetahui dirinya sendiri tidak pernah lengah dari dirinya sendiri dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam kadaaan ramai, baik dalam keadaan tidur maupun dalam keadaan sadar, atau dalam keadaan apapun juga.

Penjelasan: karena kalau saya (ana) masuk dalam mahiyahnya, itu hushuli. Tapi kalau saya-nya sendirnya, tidak pernah lepas, itu huduri.

-Diri saya tidak pernah lepas.

ia hadir dalam wujud saya. Saya tahu bahwa saya adaà hudhuri

– Kata “saya”, kalimat, “kesaya-an”, gambaran “saya”, dan foto “saya”à hushuli.

-kita mendapatkan ilmu dari khoriji (luar/eksternal) dengan mahiyahnya, bukan dengan wujudnyaà hushulià hudhuru shuratu al-syai’ (hadirnya gambaran sesuatu), berarti yang hadir adalah gambarnya/mahiyahnya.

-ilmu salah seorang dari kita terhadap dirinya/zatnya, berarti yang hadir adalah wujudnyaàhudhuriàhudhuru wujudu al-syai’ (hadirnya wujud sesuatu), berarti yang hadir adalah wujudnya.

Teks: Hadirnya diri saya langsung, bukan dengan mahiyah esensi saya atau ilmu hushuli (dalam ilmu hushuli yang hadir mahiyahnya). Karena konsep yang hadir di dalam pikiran, bagaimana diasumsikan, ia tetap punya banyak ekstensi (misdaq). Tetapi diri saya itu menjadi individuasi (tasayakhus) sebagai wujud khoriji (eksternal).

Penjelasan: Saya dan esensi saya berbeda. Esensi saya hadir terus, tapi ketika esensi masuk sebagai kuiditas itu ilmu hushuli, gambaran saya.

Jadi “saya” hadir dalam bentuk khoriji (kalau dalam hudhuri). Tidak ada mahiyahnya, karena saya khoriji. Maksudnya keberadaan saya wujud khoriji. Kalaupun wujud mujarrod, ia tetap wujud khoriji. Karena berdasarkan tasykik.

Tingkatan (Gradasi/Taskkik) ada dua, yakni yang punya efek dan tidak punya efek. Kalau sesuatu sudah dibagi, berarti ia mempunyai realitas.

Meskipun dikatakan bahwa wujud zihni tidak memiliki efek, namun di satu sisi ia memiliki efek. Misalnya pengetahuan. Dulu kita tidak punya pengetahuan terhadap sesuatu, sekarang kita punya pengetahuan. Berarti ia memiliki, efek yakni pengetahuan. Maka wujud zihni itu juga wujud khoriji, jangan mengatakaan wujud zihni bukan wujud khoriji.

Api     Di luar (khorij) à efeknya membakar àapi materi

Di zihni à tidak membakar à memliki efek memberi pengatahuan, “api membakar”à api immateri

Jadi dari satu sisi, wujud zihni adalah wujud khoriji. Kalau konsep api, dulunya ia tidak punya pengetahuan, kini punya pengetahuan, bukan efek terbakarnya, tapi efek pengetahuan. Jadi, Kalau mahiyahnya api ditempatkan di wujud khoriji, ia terbakar. Tapi kalau mahiyahnya ditempatkan di wujud zihni, ia tidak terbakar.

Ketika mahiyah berada dan menyatu dalam wujud zihni berarti ia punya satu wujud, yakni wujud zihni.

Sekarang pertanyaan?

Mahiyah sebagai wujud zihni.

Wujud zihninya ini hadir pada dirinya. Kan ia immateri, ketika wujud api sebagai wujud zihni kemudian hadir dalam wujud zihni itu sendiri disebut dengan ilmu hudhuri.

Pada konsepnya, api itu tidak terbakar. Yang membuat terbakar kalau ia berada dalam wujud khoriji. Nah, sekarang ketika dalam wujud zihni tidak terbakar, berarti ada api dalam wujud zihni dan api dalam wujud khoriji. Api sebagai wujud zihni ia immateri, sementara api sebagai wujud khoriji ia materi.

Diskusi: Mahiyah itu immateri?

Mahiyah awalnya Ke-apa-an saja, belum ada apa-apa. Kalau mahiyah ini saya masukkan ke dalam wujud khoriji, baru ia menjadi materi (maddah). Pembahasannya sekarang adalah, ketika mahiyah (ia satu bukan jadi bnayak) berada dalam wujud zihni, di sinilah perdebatannya, memang nyambung dengan asholatul maujud.

Persoalannya di sini:

Ada kaidah filsafat:      

Ma lam yatasaykkhos, lam yuujad

(Sesuatu yang belum terindividuasi, tidak akan terealiasasi)

Persoalanya, apakah yatasyakkhos ini? Karena tasyaskkhos ini pasti individu? Sekarang bagaiamana dengan mahiyah api? Kalau api ada dalam tasayakhus di realitas eksternal? Apabila tasayakkus dalam wujud eksternal, maka ia menjadi individu. Sekarang kalau ia mahiyahnya api tadi, yatasyakkhos dalam wujud zihni

Bagaimana kalau dia jadi konsep, mafhum?

Kalau dalam logika permasalahannya, mafhum dibagi dua, kulli dan juz’i. Persoalan ketika menjadi juzi berkaitan dengan individuasi. Makanya disebut mafhum di kulli.

Sekarang mahiyah ini dia muncul, bisa jadi dua; mahiyah yang sebagai juzi dan mahiyah sebagai kulli. Padahal kenyataanya mahiyah itu satu. Apakah dirinya yang berproses menjadi particular? Yang ada dalam pikirannya yang bisa jadi universal? Atau dalam realitasnya ada juzi dan ada kulli?

Karena ini kan konsep saja, tashawwurnya ilmu hushuli. Jadi tidak ada mahiyah pada alam realitas luar. Setelah mahiyah masuk ke dalam pikiran saya, pikiran saya punya posisi. Sehingga bisa saya bagi. Kalau masih di luar dan di khayalan, berarti ia particular. Kemudian kalau di alam akal sebagai ke-mahiyahan ia universal. Oleh karena itu, mahiyahnya tetap satu. Yang membuat juz’i dan kulli adalah pikiran saya. Yang membuat banyak adalah pikiran. Mahiyah pada dasarnya adalah konsep. Continue reading

Minat Masyarakat Betawi terhadap Budaya di Setu Babakan

lenong betawi 01

“Lu mau ngapain ke mari?,” ujar Ahmad Maulana Saputra Dewa, sang Bapak sekaligus pemilik perguruan silat.
Mau ngerebut pusaka! Mana tu suling?, Tanya penjahat.
Pertempuran pun berlangsung. Penjahat melawan bapak dan anak perempuannya. Sayangnya, mereka terkalahkan. Tak lama datanglah anak laki-lakinya.
“Suling sakti gw ilang tong!” Aih.. teriak si Bapak
“Eh Bang kembaliin suling bapak saya! itu suling peninggalan dari kakek saya,” kata anak laki-lakinya yang jago silat.
“suling uda di tangan gua, jangan lu kira gampang ngambilnya!” jawab penjahat.
Tak lama kemudian, sang anak menantang kedua penjahat itu untuk bertarung. Hingga akhirnya, suling sakti itu berhasil kembali ke tangan ayahnya. Itulah sekilas dialog pertunjukkan lenong dengan tema Pusaka Betawi dari Sanggar Sinar Fajar Hidup Baru di Kampung Budaya Betawi, Setu Babakan, Minggu siang (28/12).
Senyum simpul, komentar ringan, hingga tawa riang penonton berhamburan menyaksikan banyolan-banyolan para pemain lenong. Raut ketegangan juga tak terhindari ketika terjadi adu fisik dalam pertarungan. Banyak di antara mereka yang tadinya duduk dan berjongkok, memilih untuk berdiri dan maju mendekati panggung. Belasan anak kecil tetap tidak beranjak berdiri di jejeran paling depan, menempel sisi panggung. Meskipun gerimis sempat menghampiri penonton, namun kebanyakan mereka tetap menikmatinya hingga acara usai di sore hari.
Wakil Pimpinan Sanggar Sinar Fajar Hidup Baru, Prana Aditya (23) menjelaskan bahwa lenong biasanya terdiri dari cerita, lawak, dan lagu. Alurnya mulai ditampilkannya jagoan, orang kaya, orang miskin, hingga adegan bela diri. Walaupun pertunjukkan lenong hari itu dinilai terlalu cepat, namun tetap memiliki pesan. “Jangan merebut hak orang lain!” ucapnya.
Itulah lenong Betawi yang ditampilkan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Jagakarsa. Lenong merupakan teater tradisonal Betawi yang diiringi alat musik Gambang Kromong. Selain lenong, ada juga pertunjukkan Budaya Betawi seperti Tari Topeng, Gambang Kromong, Marawis, Qosidah, dll.
Dari data responden yang diteliti oleh Masyati dalam tesisnya yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pekampungan Budaya Betawi sebagai Aset Pariwisata”(2008) menyatakan bahwa 78,5% kondisi unsur atraksi budaya Betawi di Perkampungan Budaya Betawi dalam kondisi cukup menarik.
Namun sayangnya, tidak semua warga yang berkunjung kesana untuk menyaksikan pertunjukkan Budaya Betawi. seperti yang dilakukan oleh dua remaja, Sri Pratiningsih (21) dan Nia(19).
“Kebanyakan tuh orang datang ke sini untuk bersantai saja”, ungkap Sri yang biasa mengunjungi Setu Babakan usai pulang kerja bersama temannya. Bahkan Nia mengaku meskipun sering ke sini, namun tidak pernah melihat pertunjukkan Budaya Betawi yang ditampilkan di sanggar. Keduanya menghindari ke kampung ini pada hari Minggu dengan alasan ramai.
Jumlah pengunjung Setu Babakan yang ditetapkan sebagai cagar budaya pada 18 Agutus 2000, pada hari Minggu memang lebih banyak dibanding hari biasanya. Tukang Parkir di depan sanggar, Muntari (55) mengakui ramainya parkiran pada hari Minggu. “Ada sekitar 200-300-an motor kalau hari Minggu,” ungkapnya sambil menerka-nerka jumlah pengendara.
Tak jauh dari sanggar pertunjukkan, dapat ditemui banyak pedagang yang menjajakan makanan khas Betawi, seperti Kerak Telor, Toge Goreng, Laksa, hingga Bir Pletok. Misalnya kerak telor “Bang Udin” yang hanya buka pada Sabtu dan Minggu. Ibu Mani (53), Penjual Kerak Telor mengaku penghasilannya tidak menentu, meskipun jumlah pengunjung ramai pada hari Minggu.
Dengan luas wilayah 289 hektar, di sana kita dapat menikmati tiga objek wisata sekaligus, yakni wisata Budaya, Air, dan Agro. Objek wisata air, seperti perahu bebek terus beroperasi hingga sore hari. Dengan tarif Rp 5000 untuk anak-anak dan Rp 7.500 untuk orang dewasa mampu menarik belasan pengunjung untuk mengantri di loket.
Kepala PengeIola Perkampungan Budaya Betawi (PBB), Indra Sutisna mengakui bahwa mindset masyarakat lebih banyak yang menganggap Setu Babakan sebagai fungsi wisata dibandingkan budaya. Padahal Kampung Budaya Betawi mempunyai enam fungsi, yakni Pemukiman, Ibadah, Informasi, Seni-budaya, Pendidikan, penelitian dan pengembangan, serta Parisiwisata.
“Masyarakat umum mengangap fungsi Pariwisata nomor satu. Sehingga mindsetnya, ahh udah masuk, udah bayar, saya mau lagu apa (baca: mau ngapain aja) juga terserah dong. Karena itu, masalah kearifan lokal kurang diperhatikan. Padahal kita hanya mengoptimalkan pengunjung, bukan memaksimalkan!” tegasnya.
Indra menjelaskan, 195.000 jumlah pengunjung pada tahun 2013 itu tidak terlalu banyak. Ragunan sehari bisa 80.000, bahkan Ancol bisa mencapai 100.000-an. Tapi memang pihak pengelola tidak menargetkan itu. Kearifan lokal itulah yang mereka utamakan. Mereka ingin ada pembelajaran budaya di sini. ”Ini lho budaya Betawi, bagian dari budaya Nasional yang harus kita jaga, kalau bukan kita, siapa lagi?” pesan pria yang mengenakan pakaian adat Betawi dengan sarung yang dikalungkan di bahunya.
Adanya ketidakperhatian masyarakat terhadap budaya memang diakui oleh Indra. “Anak-anak kita, (kalau disuruh) ke museum, jangankan bayar sendiri, dibayarin saja belum tentu mau. Kalaupun datang, paling selfian, bukan belajar budaya,” ujarnya dengan miris.
“Orang (kita) belajar budaya memang agak susah. Justru orang luar negeri itu yang luar biasa. Karena kita ini baru mau berangkat ke sana, Metropolitan. Padahal, mindset kita berpikir global, berbudaya lokal,” tambahnya.
Indra menjelaskan bahwa membangun Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan tidaklah mudah. Karena perkampungan ini tidak dibangun dari zero, melainkan sudah ada populasi sebelumnya yang tidak hanya berisikan suku Betawi saja. “Kita ingin merubah mindset masyarakat dengan kultur, gak bisa dipaksakan harus begini..begitu..”
Berbeda halnya dengan Pimpinan Sanggar Seni Citra Argawana, Jazuri tidak begitu mempermasalahkan antusias pengunjung yang lebih menikmati fungsi Pariswisata di Setu Babakan ketimbang Budayanya. “Kalau kita ingin mengembangkan sesuatu harus melalui bumbunya dulu. Memang arahnya objek wisata, seperti TMII, tapi kandungannya budaya.”
Sama seperti halnya Indra, Bang Jaxc (panggilan akrab Jazuri) juga melihat adanya ketidakperhatian masyarakat Betawi terhadap budayanya. Menurutnya, minat terhadap budaya kurang, karena tanggung jawab moral dan kecintaan terhadap budaya sendiri berkurang.
“Ada gitar dan rebana yang merupakan bagian dari budaya kita, mana kira-kira yang akan dipilih? Berapa banyak sih remaja yang mempelajari budaya kita? Dalam satu kelas saja, ada berapa orang yang tahu lagu Nasional?” tanyanya dengan raut wajah yang kurang meyakinkan.
Semangat untuk mempelajari budaya memang terlihat menyurut. Karenaya, berkali-kali Anggota Dep. Pariwisata, Seni dan Budaya DPP FORKABI ini mengajak untuk kembali kepada diri kita sendiri. Kesadaran masing-masing individu bahwa kita adalah orang Indonesia. Sudah sejauh mana kita sadar dan tahu akan budaya masing-masing. “Kalau kita orang Padang, sudah tahu belum budaya kita?”
Meskipun demikian, pemilik kerajinan ondel-ondel sejak tahun 1995 ini juga mengakui adanya peningkatan pemesanan jumlah produksi ondel-ondel. Begitu pula, dengan 30 mahasiswa, baik S1 maupun S2 dari UGM, UI, UNJ, dll pada tahun 2014 ini yang belajar budaya Betawi di sanggar ini. “Namun tetap saja, hal ini tidak bisa dijadikan tolak ukur,” jelasnya ketika ditemui di Sanggar Seni Arga Wana, Cipedak, Minggu petang (21/12).
Ketua Karang Taruna Sakura di Setu Babakan, Redy Nurdiawan(19) menggambarkan bagaimana kondisi pemuda di Setu Babakan. “Hampir selama tiga tahun kita vakum, gak ada kegiatan. Bahkan untuk acara 17 Agustus-an pun tidak ada. Mati banget!,” ungkap Mahasiswa Gunadarma. Idham Maulana, rekannya menambahkan, “Pemuda di sini pada tahun-tahun kemarin lebih mementingkan diri sendiri.”
Memang harus ada kerja sama yang baik dari semua pihak untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi yang ada di Setu Babakan. Di akhir wawancara, Indra Sutisna berpesan, ”Khusus masyarakat Betawi yang ada di Perkampungan Budaya Betawi, dukunglah program yang ada dari pemerintah! Karena kalau keduanya saling ada keterkaitan, maka Budaya Betawi akan berjalan dengan baik.” (NJ)

Proses Berpikir secara Hudhuri

Di antara beberapa pembagian ilmu, terdapat ilmu hushuli dan ilmu hudhuri. Ilmu itu sendiri merupakan hadirnya gambaran sesuatu pada diri subjek (al-ilmu ‘ibārah ‘an hudhūri syai’ li al-mudrik). Ilmu hushuli adalah ilmu yang membutuhkan perantara di mana eksistensi objeknya tidak bisa hadir di dalam diri subjek, hanya gambarannya. Seperti ilmu tentang papan tulis. Mengetahui papan tulis tidak dengan cara memasukkan papan tulis ke dalam mental, melainkan adanya perantara, mind, dalam bentuk konsep tentang papan tulis yang hadir pada diri kita. Sementara ilmu hudhuri sebaliknya, yakni ilmu tanpa perantara yang mana eksistensi objeknya hadir langsung pada diri subjek. Seperti pengetahuan kita tentang cinta, benci, lapar, dll. Meskipun demikian, setiap ilmu hushuli akan kembali ke hudhuri
Terdapat tiga komponen penting dalam proses mengetahui, yakni subjek yang berpikir (āqil), objek yang dipikirkan (ma’qūl), dan ilmu. Prosesnya tidak sederhana sebagaimana yang biasa kita lakukan dalam tindak ‘berpikir’. Misalnya dengan melihat sesuatu kemudian kita bisa langsung mengetahuinya. Akan tetapi, butuh proses mengetahui yang tersusun rapi secara hudhuri.
Ketika pertama kali subjek melihat objek eksternal, di sanalah proses mengetahui bermula. Eksistensi eksternal tersebut dalam istilah Mehdi Hairi Yazdi disebut juga objek objektif atau objek transitif (Yazdi, Mehdi Ha’iri, 1992: P.74). Setelah itu, melalui kreasi mental terciptalah eksistensi mental yang dikenal juga dengan objek subjektif atau objek imanen yang diambil dari eksistensi eksternal. Menurut Mulla Sadra, Tuhan memberikan kemampuan pada jiwa untuk menciptakan eksistensi mental baik yang non-material yang didasarkan pada konsepsi, maupun bentuk material dalam eksistensi mental (Al-Walid, Kholid, P. 123).
Eksistensi mental inilah yang menjadi alasan mengapa setiap ilmu hushuli kembali kepada hudhuri. Karena pengetahuan yang dihasilkan pada diri subjek merupakan bentuk dari sebuah objek yang hadir di dalam mental subjek dalam bentuk eksistensi mental, sehingga persepsi subjek terhadap objek yang masuk merupakan persepsi terhadap eksistensi mental, bukan eksistensi eksternal dan hal tersebut merupakan makna ilmu hudhuri (Al-Walid, Kholid, P. 115).

Apakah Jiwa Bergerak?

WP_20140609_001
Pengantar
Wujud terbagi menjadi dua, yakni wujud tetap dan wujud yang berubah (taghyir). Wujud tetap misalnya wajib al-wujud dan wujud immaterial sempurna. Sementara wujud berubah adalah seluruh material dan jiwa yang memiliki ikatan dengan materi.
Kemudian perubahan juga terbagi dua, yakni perubahan secara spontan dan perlahan-lahan (tadrij). Perubahan secara spontan disebut juga kaun (penciptaan) & fasad (kehancuran), misalnya saat buah jatuh dari pohon. Sedangkan perubahan secara perlahan-lahan disebut juga gerak, misalnya air menjadi panas saat dipanaskan.

Definisi Gerak
Ada dua definisi terkait dengan gerak, yaitu:
1. gerak adalah perubahan gradual (tadrij), yang terjadi secara perlahan-lahan
2. gerak adalah keluarnya objek dari potensialitas menuju aktualitas

Harokah kaifiyyah
Pengantar harokah kaifiyyah
Pembahasan nafs kayfiyyah diambil dari kitab Durus fi al-Falsafah islamiyah dan juga kitab Bidayah al-Hikmah. Pembahasan tentang harokah kaifiyyah termasuk dalam bab “Kategori-kategori yang terjadi di dalamnya gerakan” (pasal 10).
Sebenarnya telah terjadi perbedaan pendapat antara filosof terdahulu dengan Sadr al-Din al-Syirazi. Para filosof terdahulu sejak Aristoteles mengatakan bahwa terjadinya gerakan itu pada kategori-kategori aksiden yang empat, yakni al-ain(tempat), al-kaif (kualitas),al-kam (kuantitas), al-wadh(posisi). Sementara, Mulla Sadra menambahkan gerakan yang terjadi juga pada ketegori Jauhar (substansi). Oleh karena itu segala Sesuatu di alam materi (thabiah) ini bergerak, memperbaharui, dan mengalir.
Gerakan kualitas (Harokah fi kaif)
Continue reading

Pemikiran Abu Bakar Atjeh; Tuhan dan Dunia

bola dunia 3
A. LATAR BELAKANG TOKOH
A.1. Biografi Singkat
Abu Bakar Aceh lahir pada 28 April 1090 di Peureumeu, Kabupaten Aceh Barat. Beliau terlahir dalam lingkungan keluarga ulama, ayahnya, Teungku Haji Syekh Abdurrahman dari Peureumeu, sementara ibunya, Teungku Haji Naim dari perkampungan Peulanggahan Kutaraja (Banda Aceh). Kemudian ia menetap di jalakarta setelah sebelumnya sempat menetap lama di Yogyakarta. Pada tanggal 18 Desember 1979 beliau meninggal dunia dan dikebumikan di pemakaman Kebun Karet Jakarta. Beliau meninggalkan seorang isteri dan lima orang anak
A.2. Pemikiran, Perjalanan Karir, dan Sumbangannya terhadap Indonesia
Pada masa kanak-kanak, Abu Bakar Aceh menggali ilmu agama, khususnya al-Quran dari lingkungan keluarganya sendiri, yakni kedua orang tuanya dan juga pada beberapa teungku di kampungnya. Setelah itu ia mulai pendidikan formalnya di Volkschool di kota Meulaboh, dilanjutkan dengan Kweekschool di Sumatera Barat, hingga melanjutkan studinya di Jakarta. Di Ibu Kota iniilah ia mempelajari bahasa asing melalui kursus-kursus. Tidak berhenti sampai di situ, sosok yang haus akal ilmu ini memperluas cakrawala keilmuannya dnegan menuntut ilmu ke Mekkah, sekaligus melaksanakan ibadah haji.
Seiring dengan kematangan ilmunya, ia menerapkan apa yang didapatkan dalam kehidupan sehari-harinya sekaligus berkarir. Perjalanannya di mulai di Yogyakarta, ia menempatkan dirinya menjadi pemimpin masyarakat Aceh, tempat berkonsultasi berbagai hal mengenai agama dan kemasyarakatan. Ia membantu masyarakat Aceh dengan cara memasukkan pelajar Aceh memasuki Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta, kemudian menjadi tenaga pendiri dan pengajar IAIN Ar-Raniri Darussalam-Banda Aceh.
Abu Bakar juga bekerja sebagai pegawai Negeri dalam urusan agama mulai masa penjajahan Belanda, Jepang dan setelah Indonesia merdeka. Dalam penataan struktur organisasi Departemen Agama RI di Jakarta, ia mempunyai peranan penting , yaitu penataan di bidang haji. Ia telah mengenalkan Departemen Agama di luar negri. Berbagai karya ilmiahnya di publikasikan untuk mengenal lebih jauh mengenai Departemen Agama RI.
Tidak sampai di situ saja, Abu Bakar juga melakukan peran besar terhadap pendidikan dan pengajaran dengan mengajar di lembaga-lembaga formal (dosen UID) di Jakarta hingga akhir hayat; dosen luar biasa IAIN Jakarta, Kutaraja (1952); dekan UIC di Jakarta (1953); memperoleh gelar Honoris Causa bidang ilmu agama islam dari UID dan masih banyak lagi keterlibatannya di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
B. PEMIKIRAN
B.1. Pengertian dan Tujuan Tasawuf
Tasawuf dapat diartikan pencari jalan untuk memperolah kecintaan dan kesempurnaan rohani. Meksipun tidak dapat dielakkan, awalnya para sufi juga mengagumi pandangan-pandangan lahiriah, namun lama kelamaan kepuasan terhadap yang lahir terkikis dan beralih ke dalam dunia rohani. Seseorang tidak dapat memahami tasawuf, kecuali sesudah ruh dan jiwanya menjadi kuat sehingga cahaya mampu melepaskan dirinya dari keindahan lahir. Takkala roh dan jiwa sudah matang dan meningkat, maka keindahan lahiriah menjadi kecil. Continue reading